Oknum perazia buku di negeri ini selalu mendapat halaman dari sebuah cerita. Baik di grup-grup aplikasi chat, atau di kelompok-kelompok petani, hingga ke meja-meja konglomerat, dan juga laman social media. Tak ayal muncul semacam ‘kepedean’ saat mendapatkan perhatian sedemikian rupa.
Bagi yang berencana mengikuti jejak dari para perazia itu, ada baiknya menyimak; Kuputusan Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dengan memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk melarang buku. Artinya adalah pelarangan buku hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan.
Dan sebagai catatan tambahan, razia buku ini hanya boleh diperankan oleh ahli dan tidak untuk ditiru oleh yang bukan ahlinya. Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw juga dalam hadits riwayat Bukhari pernah bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ( البخاري)
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu,” Bukhari.
Namun bila ada yang bukan ahli dan mau melakukan tugas dari ahlinya ahli, sepertinya mereka sedang membuat konten berupa lelucon buatan. Atau sebut saja Artificial Prank.
Artificial Intelligence kapang anu?
Oiya di’ itu maksud saya, kecerdasan buatan.
Itumi juga kalau bukan ahlinya, hancur istilah menjadi lelucon buatan.
La Rahing
Bukan Ahlinya Ahli
Penulis : Ibra La Iman
Penggiat Literasi dan Pengarang Buku “Sumange’na Parepare”