Opini : Kemerdekaan Indonesia dibayangi Kemerdekaan Intoleransi.

Beberapa hari lagi kita akan menyambut kemerdekaan negara yang kita cintai ini, Momentum kemerdekaan 17 Agustus selalu kita rayakan dengan penuh semangat kebangsaan, semangat gotong royong dan semangat kebersamaan dan yang dimana ke semua itu kita perlihatkan dengan ikut terlibat setiap perlombaannya. Semangat kemerdekaan membuat kita mengesampingkan latar belakang kita baik itu agama maupun suku. Itu semua guna menyambut hari bersejarah tepat pada 74 tahun silam. Bermacam-macam lomba disuguhkan untuk mempererat hubungan antar sesama.

Namun apakah semangat kemerdekaan itu akan bertahan di bulan-bulan selanjutnya.?? Ini yang menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua, mengingat intoleransi yang terjadi di Indonesia semakin hari kian mengkhawatirkan. sepanjang tahun 2019 hampir setiap bulan terjadi kasus intoleransi. dan hampir semua kasus Intoleransi menyoal kebebasan dalam beragama, berkeyakinan, beribadah serta berpendapat. padahal sudah sangat jelas hak konstitusional sebagai warga negara untuk beragama, berkeyakinan, beribadah serta berpendapat telah di atur dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar.

Seperti beberapa waktu lalu yang sempat ramai diberitakan mengenai himbauan peredaran buku kiri di Kota Makassar, adapula pencabutan izin Gereja oleh pemeritah Kab. Bantul dengan alasan bahwa gereja tidak memenuhi persyaratan. Jika kita melihat lebih jauh lagi kebelakang, Kita akan menemui kasus Intoleransi bahkan diskriminasi dalam hal beragama yang seharusnya tidak perlu terjadi. pada bulan Maret terjadi aksi unjuk rasa yang mendemo pembangunan gereja di Bekasi, pada bulan April tejadi pemotongan nisan salib di pemakaman Jambon, Yogyakarta yang dilakukan oleh beberapa warga yang mengklaim bahwa pemakaman tersebut adalah pemakaman muslim yang menyebabkan tidak diperbolehkannya atribut non muslim, pada bulan Mei kasus penolakan pembangunan Pura di Sukahurip kota Bekasi.

Dari sekian kasus yang menjadi subjek tetaplah minoritas. mereka krisis kepercayaan selalu merasa was-was dan merasa tidak aman baik itu menyampaikan pendapat dan bahkan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan mereka. lalu dimanakah letak sila pertama dan ke lima untuk warga negara Indonesia yang minoritas?.

Diskriminasi yang terjadi kepada minoritas membuat saya bertanya semudah apakah daya ingatan kita melupakan semangat kemerdekaan yang bahkan tiap tahun kita rayakan, dengan begitu mudah sirna dan tak berbekas sedikitpun di ingatan kita. Bahkan kita masih bisa melihat beberapa bulan kedepan pasca 17 agustus hiasan bendera kecil merah putih yang kita ikat dari pohon-kepohon.

Peristiwa intoleransi dan Diskriminasi yang terjadi di Indonesia seharusnya mampu membuat kita semua kembali merefleksikan diri mengingat kembali semangat kemerdekaan bahwa Indonesia lahir bukan dari satu kelompok atau golongan, namun dari berbagai macam golongan yang tidak hanya dua tiga empat golongan. momentum kemerdekaan Republik Indonesia kali ini seharusnya membuat kita semua kembali sadar, bahwa Intoleransi dan Diskriminasi bukanlah budaya yang dilahirkan dan diwariskan oleh para pendahulu yang memperjuangkan kemerdekaan bagi kita.

Negara kita terlalu kaya dengan bermacam-macam perbedaan. jika kita sebagai anak bangsa sisa merawat, mengisi dan mempertahankan kemerdekaan tidak menyadari akan hal ini maka tidak menutup kemungkinan kemerdekaan indonesia akan digantikan oleh kemerdekaan intoleransi yang akan tumbuh subur di Tanah Ibu Pertiwi.

Di sisi lain, kaum mayoritas juga harus belajar untuk mampu menerima dan menghormati minoritas dan jika kita semua tidak mampu belajar dari keganasan Intoleransi dan tidak mampu membudayakan semangat kebangsaan, semangat gotong royong dan semangat kebersamaan yang tertuang dalam semangat kemerdekaan maka bukan tidak mungkin Kemerdekaan Indonesia yang kita peringati setiap 17 Agustus tidak bisa kita rasakan lagi ditahun-tahun berikutnya, Selasa (13/08/2019).

Penulis : Azhari Ketua (Eksternal PKC.PMII Sulsel)

Tinggalkan Balasan