Pada era dewasa ini, masyarakat semakin berani dan kritis dalam menyampaikan aspirasi, keinginan, maupun tuntutannya dan memposisikan diri sebagai pengontrol kinerja pemerintah. Masyarakat kerap menuntut birokrasi publik agar mengubah perannya dalam melakukan pelayanan publik. Dimana kondisi pelayanan publik yang selama ini kerap mengabaikan etika dalam melangsungkan pelayanan, sehingga konsekuensinya adalah terjadi praktik mal-administrasi. Oleh sebab itu, diperlukan suatu aturan yang melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas dari aparat birokrasi sebagai pelaksana berbagai pembangunan nasional, terutama pelayanan yang memuaskan masyarakat. Aturan yang menjadi pedoman ASN tersebut adalah etika atau norma sebagai bagian dari reformasi birokrasi.
Pada dasarnya reformasi birokrasi sama dengan demokratisasi jika dilihat dari perspektif ilmu politik dengan tujuan akhirnya adalah membentuk good governance dan clean government. Yang dimaksud dengan good governance adalah mekanisme kerja pemerintahan yang berorientasi pada terwujudnya kesejahteraan publik dengan melaksanakan tiga fungsi dasar, yaitu development, service, dan empowerment. Sedangkan clean government merupakan model pemerintahan yang memberikan jaminan agar tidak terjadi distorsi aspirasi masyarakat, serta mengeliminasi tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sebagaimana mestinya, birokrasi memang memiliki peranan besar dalam melaksanakan rencana negara melalui kebijakan publik. Akan tetapi pada praktiknya, peran birokrasi kerap diragukan dalam mendinamiskan dan menghidupkan proses demokratisasi.
Adapun tantangan yang tengah dihadapi oleh aparatur sipil negara hingga saat ini adalah penyalahgunaan wewenang, mafia hukum, persaingan global semakin kompleks, dan pelbagai masalah lainnya. Oleh karena itu, dalam mewujudkan aparatur sipil negara yang dapat dipertanggung jawabkan, reformasi aparatur harus dilakukan secara berkelanjutan agar lebih efisien dan efektif. Merespons kondisi pemerintahan Indonesia saat ini yang masih penuh permasalahan yang kompleks, termasuk kualitas moral etika para aparat birokasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua bidang institusi pemerintahan memiliki irisan kecenderungan penyalahgunaan wewenang, baik demi kepentingan kelompok maupun pribadi. Pasca rezim Orde Baru, telah terjadi dampak ekonomi, politis dan sosial yang mengkhawatirkan bagi kesehatan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Olehnya, pemerintah gencar mendorong reformasi birokrasi dalam kurun waktu 11 tahun belakangan ini.
Memaknai Etika Aparatur Sipil Negara
Berdasarkan persoalan-persoalan diataslah menjadi dasar perlunya diadakan etika sebagai pedoman aparatur negara. Etika dijadikan sebagai referensi, pedoman, dan petunjuk tentang apa yang semestinya dilakukan oleh aparatur sipil negara dalam menjalankan kebijakan politik, serta etika dijadikan sebagai standar penilaian baik atau buruknya perilaku aparatur sipil negara hendak menindaklanjuti kebijakan politik.
Secara definitif, etika aparatur sipil negaramerupakan sikap moral dan mental yang terpatri pada tindakan dalam melangsungkan aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada seluruh bidang yang bersifat managerial, organisasional, dan administratif yang berlandaskan Pancasila. Selain itu, etika aparatur sipil negara bisa dipahami sebagai cara aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas, pokok, fungsi dan kewajibannya dengan pendekatan konstitusi, pendekatan masyarakat, pendekatan filosofis, pendekatan psikologi, pendekatan etika dan pendekatan agama.
Landasan Etika Aparatur Sipil Negara
Apabila ditinjau secara menyeluruh dan mendalam, pengertian maka etika aparatur sipil negara adalah penegasan bahwa ASN yang berkomitment dan berintegritas pada setiap sikap, tindakan dan perilakunya hendak menyelenggarakan tugas pemerintahan yang mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Sejatinya etika adalah bagian dari filsafat, way of life, dan Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa, way of life bagi setiap warga negara, terutama aparatur sipil negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, berpemerintahan dan bernegara. Selanjutnya, etika aparatur sipil negara memiliki landasan konstitusional, yaitu UUD 1945, referensi tertib hukum Tap MPRS No XX/1966 jo Tap MPR no. III/2000, dan landasan operasional RENSTRANAS, RENSTRADA, dan RENJA. Dimana dengan ketiga landasan diatas menjadi etika ASN dalam menciptakan good governance dan mewujudkan tujuan negara.
Membenahi Kembali Etika Aparatur Sipil Negara
Pada dasarnya aparatur negara yang memiliki kompetensi etis dapat dipercaya sebagaimana amanat Pancasila sebagai parameter baik dan buruk maupun benar dan salah tindakan seseorang dalam melangsungkan aktivitas kemasyarakatan maupun kenegaraan. Pada segi-segi kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pertahanan dan keamanan bertumpu pada etika, yakni Pancasila. Etika pemerintahan dari seorang aparatur negara berdasarkan Pancasila, maka seharusnya ASN mengaktualisasikan sifat-sifat kemanusiaan yang beradab, tinggi, santun, adil, dan bersusila serta menolak seluruh doktrine yang menyatakan bahwa manusia merupakan alat materi belaka dan menghalkan berbagai cara, terutama seorang aparatur negara. Sehingga pernyataan tersebut bisa memperlakukan manusia sesuka hati penguasa.
Oleh sebabnya, sebagai pembenahan kembali etika ASN, maka dibentuklah UU RI No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara untuk memperbaiki sistem, manajemen dan proses pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik. Selain itu, UU ini juga mengamanatkan bahwa ASN merupakan profesi yang terbebas dari intervensi politik, mengedepankan prinsip professionalisme sesuai kualifikasi yang memiliki kompetensi, objektivitas, kinerja, transparansi, dan jauh dari praktik KKN yang berbasis pada merit sistem guna mempercepat terwujudnya aparatur sipil negara yang handal dan professional.
Etika Kebijakan Publik
Selain dari penilaian kinerja etika aparatur sipil negara, kita juga harus membenahi etika kebijakan publik sebagai hasil tangan dari aparatur sipil negara. Pada esensinya, etika kebijakan publik merupakan standart nilai bagi pemerintah, masyarakat mapun pihak swasta dalam mengambil suatu tindakan. Disaat melakukan perumusan suatu kebijakan, pihak yang terkait harus memperhatikan nilai-nilai yang baik agar memberikan hasil optimum terhadap kesejahteraan warga negara.
Kebijakan publik tidak hanya terpaku pada proses pengambilan keputusan, melainkan analisisnya pun diperlukan. Dari sudut pandang nilai, kebijakan publik merupakan kebijakan atas nama pemerintah dalam mengalokasikan berbagai sumber daya sebagai upaya pencapaian nilai bersama. Untuk itu, agar nilai bersama bisa menjadi kriteria dan acuan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, maka kriteria praktik yang profesional mesti bisa diintegrasikan pada kebijakan publik.
Dengan kriteria etika tersebut, pengambilan keputusan dalam membentuk suatu kebijakan harus memprioritaskan kepentingan publik, terlebih bagi kepentingan suatu golongan/kelompok pada posisi tidak beruntung. Dasar pemikirannya adalah kesetaraan memperoleh pelayanan publik harus mencakup semua warga negara dengan kesempatan yang sama, dan tindakan memprioritaskan yang tidak beruntung adalah mengangkat mereka yang secara struktural berada pada posisi lemah.
Dalam menjalankan kebijakan, isu yang kerap dan akan muncul adalah apabila pejabat negara tidak bisa memberikan kepuasan dan pelayanan tepat bagi masyarakat. Dimana memang cara pejabat dalam mengambil keputusan yang prioritas, repetitif, dan penanggapan sejumlah pertanyaan publik selalu disertai risiko yang membuat sebagian warga negara kecewa dan sebagian lainnya merasa puas.
Oleh sebab itu, terdapat dua sisi normatif yang melekat dalam keputusan stakeholders, yaitu aspek lazim dan aspek terbatas. Aspek lazim merupakan cara dimana kebijakan dan pelaksanaannya mendukung sikap yang memungkinkan atas tanggungjawab kinerja, mandat legislatif, mempertimbangkan banyak pihak, dan kesejahteraan publik. Kedua, aspek terbatas merupakan yang pertanggungjawaban moralnya pada kebijakan yang dijalankan.
Demikian daripada itu, dalam melangsungkan reformasi birokrasi dari segi kebijakan publik. Maka pelaksanaa segala sesuatu harus mengacu pada nilai, prinsip, aturan, dan norma serta pemantapan tujuan yang jelas tidak terkecuali dalam memutuskan suatu kebijakan. Tentu juga harus disertai oleh semua pihak yang terlibat, baik itu aparatur sipil negara, masyarakat dan swasta harus saling bekerjasama agar tercapainya tujuan bersama.