Senin malam, 17 Agustus 2020, saya turut hadir menyaksikan pemutaran perdana film pendek “Makka: Sengereng Na I Sukkang Dg. Tommi” di Gedung Pemuda Parepare–sebuah bangunan yang cukup lama terbengkalai dengan dinding jorok, plafon ambruk, dan kamar mandinya rusak parah. Gedung ini mungkin mampu menampung 1500-an orang. Berhubung pihak penyelenggara menerapkan protokol kesehatan Covid-19, mereka membatasi jumlah penonton. Setidaknya, ada 500-an orang yang memenuhi gedung, bila jumlah itu mengacu pada tiket. Saya masuk tanpa tiket, dan sudah pasti bukan orang satu-satunya.
Film “Makka: Sengereng Na I Sukkang Dg. Tommi” merupakan hasil kerja kolektif pertama sejumlah pekerja seni muda Parepare dalam dunia sinema. “Gagasan iseng membuat film ini lahir ketika ngopi bersama dengan teman-teman,” kata Ibrah La Iman, selaku produser. “Kami membuatnya kurang lebih sembilan hari.” Saya mengacungkan jempol atas kenekatan mereka.
Film itu diilhami dari tulisan Andi Makmur Makka dalam bukunya berjudul “Ibu”–sebuah memoar yang salah satu bagian isinya menceritakan peristiwa penembakan 23 orang pejuang Parepare yang dilakukan oleh pasukan khusus Belanda, Depot Speciale Troepen (DST), di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling, pada Ahad, 14 Januari 1947, pukul 09.00 di terminal mobil depan Masjid Jami (kini Monumen 40.000 jiwa).
Kita tahu, peristiwa penembakan tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Belanda yang perlahan mengalami kehilangan otoritas penuh setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Upaya Belanda mendirikan negara boneka di Indonesia bagian timur dan memperoleh kembali legitimasi kekuasaan mendapat penentangan. Situasi itu mendorong Kolonel Hendrik J. de Vries, Komandan Markas Besar Timur Raya dan Borneo (HKGOB) mempersiapkan gerakan pasifikasi setelah meminta pertimbangan Letnan Jenderal S. H. Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Pasukan khusus, Depot Speciale Troepen (DST), diterjunkan untuk “menertibkan” keadaan. Mereka tiba di Makassar 6 Desember 1946, lalu mempelajari situasi dan orang-orang yang dianggap pengacau atau pemberontak berdasarkan informasi dari badan intelijen. Empat hari kemudian, Raymond Westerling dan pasukannya mulai bergerak. Mereka mengepung kampung, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak, mencari orang-orang yang telah terdaftar, dan mengeksekusi mereka.
Pertengahan Januari 1947, Westerling membelah pasukan khusus DST. Ia menugasi Letnan Dua Jan Vermeulen beserta 60 orang lainnya ke daerah utara Sulawesi Selatan, yakni Parepare, Pinrang, dan Majene.
Di Parepare, 13 Januari 1947, Jan Vermeulen dan Mayor Stufkens memutuskan bahwa penduduk harus tahu kalau mulai sekarang ada tindakan keras terhadap segala bentuk perlawanan. Maka, keesokan hari, pasukan khusus DST mengumpulkan para penduduk di terminal mobil depan Masjid Jami, lalu menggiring 24 orang yang telah mereka tawan menuju ke hadapan mata para penduduk. Selanjutnya, mereka menjajarkan para tahanan pria dalam satu baris. Vermeulen memberikan pidato singkat kemudian melepaskan tembakan ke tubuh para tahanan.
Tak ada warga yang mencoba menghalau pembantaian itu, tak ada warga yang mengoja untuk mendekati para jenazah, bahkan tak ada warga yang terang-terangan menyatakan sungkawa kepada keluarga korban. Warga dicengkram ancaman dan kengerian. Namun, wujud visual dan suasana peristiwa ini tak kita saksikan dalam film Makka.
Melihat ketidakakuratan hal pokok itu dalam film sebagaimana yang ada dalam referensi sejarah, saya menyangsikan pernyataan sang produser sesaat sebelum pemutaran bahwa Makka adalah film dokumenter.
Setahu saya, film dokumenter berupaya merepresentasikan fakta atau peristiwa faktual seakurat dan sealamiah mungkin. Selain itu, adanya unsur-unsur penambahan yang dibuat-buat dalam adegan untuk mendramatisir film juga tidak dibenarkan. Hal itu dapat kita tinjau saat Hardiyanti Patangari, pemeran I Sukkang Dg. Tommi memainkan adegan: berlari menyongsong suaminya ketika tertembak, menghalau senjata Jan Vermeulen, dan menutup mata Makkarumpa Daeng Parani. Tambahan adegan lainnya dilakukan oleh aktor pembantu yang diperankan oleh Faiz ketika membawa kabar tentang eksekusi–sebelum menaiki rumah, ia mencuci kakinya terlebih dahulu. Kendati begitu, adegan Faiz itulah yang saya rasa cukup berhasil meraih perhatian lebih para penonton.
Hal selanjutnya yang mendapat sorotan saya ialah karakter tokoh utama, I Sukkang Dg. Tommi. Menilik judul, film ini menjanjikan cerita individu seorang manusia, seorang perempuan, dan seorang ibu. Akan tetapi, kita sulit ikut menyelami emosi seperti apa yang dirasakan I Sukkang Dg. Tommi ketika ia mengetahui suaminya bakal ditembak dan bagaimana ia mampu menanggung segala kepedihan yang ia derita dan apa yang ia lakukan agar tidak ambruk serupa plafon.
Sebuah film menjadi bermakna karena ia menyodorkan pengetahuan dan pengalaman karakter-karakternya. Yang seperti itu umumnya dikerjakan oleh para sineas yang cakap. Sementara kecakapan diperoleh dengan belajar dan belajar dan belajar.
Ketika film berakhir, sejumlah penonton bersorak dan bertepuk tangan. Foto bersama dengan para aktor dan kru film tentu tak penonton lewatkan. “Penata kamera dan suaranya handal,” komentar salah seorang teman yang juga masuk menonton tanpa tiket. Saya pikir, dunia sinema di kota Parepare ini ke depannya bakal menjanjikan. []
Ilham Mustamin, berdomisili di Parepare. Bekerja di Sampan Institute. Akun Facebook: @Ilham Mustamin dan Instagram: @ilham_mustamin.